Sunday, May 1, 2011

Toples Si Penjual Mimpi


Adre menggelar lapak dagangannya di pasar. Ia membariskan sejumlah toples yang berisi mimpi-mimpinya. Satu..dua..tiga..empat..lima..enam..tujuh. Lalu ia meraba perutnya. Toples kedelapan tersimpan aman di balik kaus kumalnya. Lengkap!

Lihatlah. Toples-toplesnya bersinar. Bermacam-macam warnanya, namun semuanya memiliki satu kesamaan, mereka semua indah. Indah dalam warnanya masing-masing. Perbedaan warna menunjukkan perbedaan mimpi-mimpinya.

Hatinya miris, demi menjual toples-toples ini. Bagaimana tidak, mimpi yang yang ia miliki semenjak kecil, ia pelihara, ia erami, namun kini mimpi-mimpi itu harus ia jual sebelum berhasil menetas. "Ekhm." Adre berdehem demi menahan potensi air mata yang akan berurai. "Kuat..kuat...harus kuat," katanya sambil mengelapi permukaan luar toples-toples itu. Ia memberikan sugesti pada toples-toples, terutama pada dirinya sendiri.

“Ini semua cantik sekali, Nak!” seorang ibu dengan ramah menyapa. Si pedagang cuma tersenyum seperlunya sambil bergumam “terima kasih”

“Boleh kubeli yang hijau itu?”

“Boleh, Bu.”

“Apa ini artinya Nak?” tanyanya ramah ingin tahu.

“Ini mimpi saya untuk punya kebun luas Bu.”

Si ibu mengernyit. "Untuk apa itu Nak?“

"Ayah saya suka sekali berkebun.." hatinya hangat mengingat sesosok pria setengah baya yang telah membesarkan dirinya, "saya ingin membelikan kebun yang luas untuk ayah, agar ia bisa bercocok tanam di sana.” Tanpa sadar tangannya mengusap-usap toples di perutnya yang gendut.

“Luar biasa sekali mimpimu, Nak. Saya beli, ya.” Si ibu memberikan sejumlah besar uang kepada Adre.

“Terima kasih.”

Satu mimpinya tercabut. Lepas. Meninggalkan satu celah kosong pada dirinya. terutama, meninggalkan rasa dilema. Dilemma antara bahagia karena ia mendapatkan sejumlah besar uang, namun juga sedih kehilangan satu mimpinya.

Seorang bapak datang mendekatinya.

“Untuk apa kau jual toples-toples ini, Bung?” tanya si Bapak lugas.

“Untuk......supaya bapak bisa menghiasi rumah bapak agar indah, atau untuk dihadiahkan pada anak bapak, mungkin?”

“Baiklah, saya beli yang paling murah. Yang mana?”

Adre kebingungan. Baginya, tak ada mimpi yang murah. Semua mahal. Refleks tangannya meraba toples yang tersembunyi di perutnya. Memastikan si toples ada.

“Semua harganya sama,” Adre akhirnya menjawab.

“Ah saya beli yang itu saja, coklat tua. Berapa?”

Adre menyebutkan sebuah harga.

"Ah, Bung, kutawar sedikit yah. Haha," si bapak mengeluarkan sejumlah uang, jumlahnya kurang dari yang Adre sebutkan, "Nih. Lumayan lah toplesnya buat jadi penghias kandang anjing saya. Hahaha."

Adre merasa bingung. Ia tidak tahu itu penghinaan atau pujian. "Ah, sudahlah, jangan dipikirkan," ia membatin. Adre pun merasa apa yang dikatakan bapak tadi dan isi toples itu berhubungan. Toples itu berisi mimpinya semasa kecil untuk tidak takut terhadap anjing. teman-temannya selalu mengejeknya "penakut" dan itu membuatnya sedih.

Setiap orang yang melewati lapak Adre, pasti berhenti, mengagumi toples-toplenya yang bersinar warna-warni. Beberapa diantaranya membeli. Toples-toplesnya semakin berkurang. Seorang perempuan muda cantik membeli toples berwarna merah muda. Itu adalah mimpinya untuk bertemu lagi dengan adik perempuannya yang dulu hilang. Seorang anak kecil memaksa mamanya untuk membeli toples berwarna merah. Itu adalah mimpinya untuk bisa bersekolah tinggi. Toples berisi mimpi untuk berkeliling dunia dibeli oleh seorang pria gagah berjas. Sedangkan dua toples yang biru muda dibeli sepasang suami istri yang baru menikah.

Habis. Ketujuh toplesnya sudah habis terjual. Ia mulai membersihkan lapaknya dan bersiap-siap pulang. Ia mengeluarkan toples terakhir dari balik kausnya.

"Nak, indah sekali benda yang kau pegang itu. Apa itu, Nak? Coba kulihat," seorang kakek tertarik pada toples terakhirnya.

Sinar jingga bercampur biru tourquise menyeruak dari mulut toples. Dua larik emas menghiasinya dengan sempurna.

“Tidak, maaf, Pak, saya tidak menjual toples ini.”

“Oh, sayang sekali," si kakek terlihat kecewa. Ia lalu pergi meninggalkan lapak Adre.

Adre buru-buru memasukkan toples jingga itu ke dalam perutnya seperti sedia kala. Ia memakai jaket hitamnya. Betul-betul ia sembunyikan toples terakhirnya itu. Tergesa-gesa ia pergi meninggalkan pasar, menuju rumah sakit tempat ayah dan ibunya terbaring sakit. Ia akan segera membayar seluruh utang biaya perawatan dan operasi keduanya.

"Semua mimpi boleh saja lepas dariku. Tapi mimpi ini tidak bisa dan tidak boleh direnggut oleh siapapun. Tak peduli besarnya jumlah uang yang ia tawarkan untuk mimpiku ini. Aku ingin ayah dan ibuku kembali tersenyum."

* * *

2 comments:

  1. gud job ^^d

    saya sedang menggadaikan toples-toples saya. Nanti kalo ada uang saya mau tebus kembali. ^^

    ReplyDelete
  2. ah, bener juga ya, si Adre mah gak kepikiran buat pake sistem "gadai", langsung main jual aja :)
    tips: perhatikan tanggal "jatuh tempo" pada toples-toples yang anda gadaikan.

    ReplyDelete